MEMORIES (CORRUPTED)

content warning / traumatizing, death, physical abuse.

Pembunuh. Ia seorang pembunuh.

Sebutan itu menempel pada diriku selama aku hidup. Aku sendiri juga tidak menyalahkan sebutan yang diberikan oleh orang-orang itu. Mereka benar. Aku seorang pembunuh.


Korea, 20xx

"⋆⋆⋆⋆. Aku lelah hidup seperti ini."

Sebuah momen dan percakapan yang ku lakukan dengan seseorang yang bahkan aku tidak ingat nama dan rupanya.

"Kamu masih lebih baik dari pada aku."

Bukan. Bukan kalimat itu yang aku butuhkan saat ini.

"Tapi ⋆⋆⋆⋆,"

"Eh coba lihat deh gelang baru aku! Bagus kan! Lelaki di kelas memberikannya padaku loh!"

Lagi-lagi perkataanku dipotong. Dan tanpa sadarpun aku melamun. Tidak mendengarkan perkataannya.

"Kamu dengerin aku ga sih!"

Dia murka dan aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong.

Tanpa sadar, rambutku sudah ditariknya dengan kencang. Aku hanya bisa meringis kesakitan sambil memegang tangannya.

"Sakit! Hentikan.. Tolong..."

Meski banyak orang berlalu lalang, tidak ada yang menolongku. Mereka hanya menatapku seperti menganggapku bodoh.

Aku hanya bisa berdoa. Kepada Tuhan, kepada Dewa Dewi. Siapapun. Bantu aku.

Ia melepaskan rambutku dan terlempar dengan keras ke arah yang berlawanan. Tepat sebelum kendaraan melintas.

BRAK

Aku menatap dengan ketakutan. Darah. Hanya ada darah. Bercucuran tanpa henti dari anak itu.

Semua orang berlari ke arahnya, tanpa mempedulikanku. Tepatnya, mereka menatapku dengan ekspresi ketakutan.

"⋆⋆⋆⋆!"

Aku menguatkan kaki ku untuk melangkah ke arahnya. Berlumuran darah yang keluar dari kepalanya.

Tak lama, orang tua angkat ku, yang merupakan orang tuanya datang. Segera membawanya ke rumah sakit. Namun kita tidak bisa apa-apa ketika takdir sudah berkehendak lain.

Anak itu mati.

Ku memberanikan diri untuk mendekati kedua orang tua angkat ku. Kusentuh tangan sang ibu. Dia menepisnya dan mulai memegang kedua lenganku dengan keras. Sakit yang sama ketika rambutku ditarik oleh anaknya.

"Aku sudah tau yang kamu perbuat. Kamu membuat anakku mati!"

Aku hanya terdiam. Benar. Ini semua salahku.

"Maafkan aku ibu.."

"Aku tidak sudi dipanggil ibu olehmu. Kamu bukan anakku."

Mereka meninggalkanku di lorong itu. Dengan isak tangis yang masih terdengar sepanjang lorong.

Memang perkataannya benar. Aku telah membunuh anak kandungnya. Dan aku bukan anaknya. Tapi kenapa kalimat itu sangat menyayat hatiku. Namun tiap malam, selalu ada bisikan di dalam kepalaku yang membuatku ingin melupakan kata-kata menyakitkan dari orang tua angkat.

"Veronika, kau adalah anak yang kusayangi."

Tiap ku bangun tidur, air mata sudah menetes di pipi. Entah, apakah ini yang dinamakan air mata bahagia.

Sejak saat itu, aku tidak memperdulikan lagi perkataan menyakitkan dari semua orang. Menutup telingaku. Dan hanya memeluk perkataan yang sangat manis di malam hari.

Edit

Pub: 22 Oct 2023 16:17 UTC

Edit: 23 Oct 2023 03:59 UTC

Views: 46