KATING ANEH: TIGA PULUH LIMA.
️️ ️️
️️ ️️
Pukul sebelas malam. Enam puluh menit Tian raup untuk antar Dera ke rumahnya. Gimanapun juga, dia bertanggung jawab atas transportasi Dera setelah sohibnya itu temenin dia seharian. Anyway, today was tiring. Tian berkali-kali campakkin napas berat sirat lelah. Sekarang, dia cuma pengen rebahan di atas kasurnya, lurusin kaki biar nggak pegel, dan tidur nyenyak sampai pagi.

However, itu cuma angan-angan karena saat ini, Jean ada di depan kosan Tian, duduk di kursi tamu.

"Je...?" setengah skeptis, Tian takutnya dia berhalusinasi doang karena lagi capek. Berulang kali ngerjapin mata, bahkan dikucek juga sekali, ternyata yang tampak masih sama. Itu betulan Jean, dan cowok itu noleh ke arah dia, lekatin tatapan begitu namanya dipanggil.

"Ngapain lu ke sini?"

Kalimat tanya itu dibumbui rasa penasaran. Jean tahu seratus persen, dia cukup peka kalau Tian kaget akibat presensinya yang serba seketika. Tapi alih-alih langsung kasih jawaban, Jean malah bangkit dari posisinya. Kakinya udah ciptain langkah, giring dirinya sendiri untuk deketin Tian.

"Ayo ngobrol."

Hanya itu yang melesat dari bibir Jean, sebuah ajakan telak─yang entah kenapa, Tian nggak mampu tolak. Alhasil, anggukan yang jadi timpalan.

"Sini."

Setelah lempar aba-aba kayak gitu, Tian lebih dahulu pimpin langkah untuk nyusurin lorong kosan yang terbuka, sebelum berhenti di salah satu pintu. Gesit, kunci jumpai tempat singgahnya, bikin pintu jadi kebuka. Tian langsung dorong tanpa berlama-lama, persilakan Jean untuk merangsek ke dalam sebelum dia ngikutin juga. Habis itu, Tian langsung tutup pintu kamarnya, tentunya, nggak lupa dikunci supaya aman dari marabahaya.

Nggak perlu banyak pencitraan, Tian empasin tas ransel yang semula disampir di pundaknya, secara sembarang aja sampai mendarat di atas lantai. Jean yang semula masih menjejak tegap, akhirnya milih untuk duduk di tepi ranjang yang bukan punya dia.

Jean kasih izin buat matanya berkeliling, mengitari seisi ruangan yang nyaman meskipun nggak luas-luas banget. Yah, lumayan untuk ditinggal seorang diri. Bahkan, beberapa barang yang ukurannya agak sita banyak spasi, kayak lemari dan kulkas kecil, masih bisa ditempatin di bilik ini. Selain itu, penataannya juga minimalis dan rapi, cukup memanjakan mata.

"Mau minum apa?"

Sebagai tuan rumah, Tian punya kewajiban untuk layanin tamunya. Dia udah berdiri di depan meja kecil yang dialihfungsikan untuk jadi mini pantry. Ada beberapa kotak yang berisi sekian bungkus teh, kopi, cokelat, dan lain-lain. Nggak cuma itu, di situ juga ada gelas, sendok, garpu, mangkuk, piring─pokoknya, peralatan makan yang esensial ada semua.

Jean selalu bingung kalau ditanya kayak gini karena sebetulnya, dia tipikal tamu yang nggak banyak mau, "Apa aja, deh."

"Amer mau?"

"Gua nggak minum."

Iya, memang bohong. Jean minum, tapi sesekali aja. Itupun kalau lagi merasa butuh. Lagian, efek samping kalau dia minum itu bisa fatal, suka sampai nggak sadar sama kelakuannya sendiri.

"Ya udah, teh anget, ya. Gua aja yang ngamer."

Keputusan Tian nggak dibantah sama Jean. Nggak masalah kalau adik tingkatnya itu mau minum amer, sampai mabok juga won't hurt him in any ways. Jadilah dia cuma diem sekarang, nungguin Tian selesai nyiapin minuman yang disebutnya tadi.

"Nih."

Nggak butuh waktu lama, segelas teh hangat udah ditangkap indra penglihatan. Jean lekas genggam gelasnya, terus nyeruput cairan berwarna cokelat itu sampai kesisa setengah bagian. Di sisi lain, Tian udah duduk di atas karpet, tepat di depan kakak tingkatnya. Jarinya udah sukses buka tutup botol amer yang lagi dipegangnya erat. Nggak perlu gelas, dia langsung teguk aja dari botol, tiga tegukan dan dia milih untuk ngejeda dulu.

"Jadi, mau ngobrol apa?" Tian buka pembahasan duluan, dia sedikit-banyak penasaran sama apa yang mau diutarain oleh cowok di hadapannya.

"Cerita," tutur singkat itu kedengeran menuntut, seolah ada titah yang terselip di dalamnya, "cerita sama gua, lu sama Malik kenapa sampai kayak tadi."

Pertanyaan yang nggak terduga sama sekali itu undang rasa kaget untuk mampir lagi, bikin Tian susah cari kata-kata buat nanggapinnya. Jean bergeming aja, dia nggak keberatan untuk nunggu sampai lawan bicaranya mau kasih jawaban dan jelasin ke dia.

"Well ...," sehela napas ditarik, sebelum dicampak pelan, "shit happened."

"Gua putus sama Malik. Apparently, gua tau kalau ternyata dia udah punya pacar dan jadiin gua selingkuhan. For almost one month, gua dibego-begoin. Jadi gua putusin dia, tapi gua nggak bisa putusin dia dengan alasan itu karena bakalan bahaya."

Dusta kalau Jean nggak terkejut. Dia sendiri memang nggak pernah bersahabat sama Malik, tapi tampang cowok itu kelihatan baik-baik. Kinda surprising to see this side of him. Ya, memang menghakimi orang dari tampangnya aja nggak akan pernah bener.

"And why is that?"

"Soalnya gua tau dia selingkuh dari cara yang nggak halal," Tian sempatin buat ketawa pelan di sela ucapan, "Dera nge-hack e-mail sama IG dia, jadi bakalan backfire banget kalau sampe gua paparin semua bukti-bukti nyatanya ke dia. Yang ada, gua sama Dera masuk penjara."

Jean nggak bisa nggak ketawa. Menurutnya, itu langkah konyol dan nekat. Patut diapresiasi, sih, karena nge-hack akun personal orang pasti butuh usaha banyak banget.

"Keren, sumpah. Dera buka jasa nggak?"

"Hahahaha, tai. Nggak, dia masih buka jasa joktug doang."

Konversasi lambat laun mulai dikelilingi tingkah kasual, bikin jadi lebih hangat. Tian jadi nyaman, apa lagi dia masih sempat sesekali teguk amernya.

"Terusin, Ti."

"Yaaaaa ... udah," Tian nyengir sepintas, "gua putusin tiga hari yang lalu, eh, dia malah tiba-tiba nyamperin gua tadi terus minta maaflah, ngajak balikanlah─kontol banget."

Lagi-lagi, Jean lepasin gelak tawanya. Tian misuh adalah Tian lucu. Alias, adik tingkatnya itu jadi kelihatan makin lucu kalau lagi misuh atau ngomel kayak gitu. Atas penjabaran barusan, dia agaknya paham sama situasi yang dihadapi sama cowok manis yang lagi elus-elus botol amer itu. Rasa simpati dan empati menggerayang di dalam lubuknya.

"That must be tough to face the shit," akhirnya, Jean berkomentar sesuai konteks, sebelum nyeruput habis teh hangatnya dan letakkin gelas itu di atas meja.

"That was, gua nangis lama banget waktu itu, tapi gua sekarang baik-baik aja."

Jujur, kok. Tian berkata jujur soal itu, dia udah baik-baik aja, cuma masih waspada dan siaga kalau mesti ketemu Malik. But after all, dia udah nggak nangis-nangisin cowok brengsek itu lagi kayak beberapa hari yang lampau.

"Anyway," pembicaraan dialihin ke isu lain karena rasa penasaran Tian mendadak bangkit begitu benaknya ingat sesuatu, "yang lu mention di Twitter siapa? Gebetan baru, ya?"

(Yaelah, Tian. Cemburu mah bilang aja.)

Mohon maaf, author ikutan greget. Ngomong-ngomong, Jean sekarang agak cengo. Dia heran, kenapa banyak orang yang ngira kalau Aca─cewek yang kemarin-kemarin interaksi sama dia─itu adalah gebetan baru atau pacarnya? Kesimpulan itu berdasarkan apa?

"Nope. Dia mantan gua waktu SMA, tapi sejak putus jadi temenan sampai sekarang. Kemaren, tuh, dia habis dari Singapur terus bawain gua oleh-oleh. Gitu doang."

Jean agaknya kelepasan. Dia juga nggak paham kenapa harus kasih informasi berlimpah kayak gitu ke Tian, seolah-olah dia habis kasih penjelasan supaya bebas dari tudingan kalau dia selingkuh. Tian sendiri nggak keganggu soal itu, malah dia lega karena pertanyaan sekaligus rasa penasarannya udah terjawab.

"Okay," Tian ngomong gitu sambil manggut-manggut, sebelum dongakin kepalanya dan raup satu tegukan amer lagi. Desahan halus dilontarinnya juga di ujung, begitu selesai telan cairan alkohol itu.

"Gimana hari ini? Capek?"

"Banget."

Jawaban jujur dari Tian undang kekehan renyah dari Jean, "Mau istirahat? Gua pulang dulu kalau mau."

"No," kepala Tian menggeleng ribut, "di sini aja."

He swears to God, he ain't drunk. Tian itu punya toleransi tinggi sama alkohol, dia baru bisa mabuk kalau udah minum dua botol. Terlebih, ini amer doang, kadar alkoholnya nggak seberapa, udah pasti kebal sama sekujur tubuhnya.

And yes, he ain't drunk. Dia sadar kalau dia habis larang Jean untuk pergi, dia sadar kalau dia pengen cowok itu diem di sini, dia sadar kalau dia butuh ngobrol sama cowok itu kalau perlu sampai pagi.

"Je, do you still like me?"

Tanya yang nggak ada aba-abanya itu nyerang Jean langsung ke jantung, bikin organnya yang satu itu jadi terpacu untuk hasilin degupan yang lebih kenceng dari sewajarnya. Tapi karena momen saat ini sama sekali nggak buat sesak, Jean milih untuk bersikap santai aja.

"I still do," secercah tawa sempat terselip, "gua susah move on dari lu, Ti. Mau gua sebodo amat gimanapun, ujungnya gua tetep peduli juga sama lu."

Tian ikut ketawa. Botol amernya yang masih keisi seperempat itu disingkirin, lebih milih untuk ditaruh dulu di atas meja supaya bisa istirahat. Tian mau curahin seluruh atensinya ke sosok lawan bicaranya dulu, mengingat apa yang mau dia omongin adalah perkara yang serius baginya.

"Well ... would you laugh at me kalau gua bilang gua cemburu lu nge-mention Aca Aca itu?"

(Nah, gitu, kek. Ngomong kalau cemburu!)

Jean nggak berekspektasi apa-apa soal itu. Nihil, dia bahkan nggak pernah kepikiran kalau seorang Tian, gebetannya yang satu itu, bakalan ngadu cemburu. Jean nggak ketawa, tapi dia bahagia luar biasa.

"Ya?" masih agak nggak percaya sama apa yang didengernya, jadilah dia mau mastiin dulu sebelum akhirnya kasih tanggapan, "nggak, why would I laugh at you?"

"I don't know, I thought you would find it silly or dumb or anything else," pundak Tian mengangkat sekilas, sebelum dia manyun, "gua nggak bohong, gua kesel waktu lihat tweet lu itu ... duh, anjrit, gua langsung nangis sejadi-jadinya pas itu."

"Mana gua 'kan habis pegat sama si brengsek, terus gua langsung lihat lu mention cewek lain. Argh, bangsaaaaat, kesel!"

Aduh, gimana, ya, ini? Jean gemes banget sama Tian. Hasrat buat meluk cowok manis itu lagi menggebu-gebu, tapi terpaksa dia tahan dulu, nggak mau bersikap agresif. Nanti kalau Tian ketakutan dan musuhin dia lagi, gimana?

"Huft ... sebel," belum sempat Jean nanggapin apa-apa, Tian udah ngedumel lagi dan langsung tutup topik dengan manggil lawan bicaranya.

"Je."

"Hm? Apa?"

"Ngewe, yuk."

Buset, nggak ada habis-habisnya apa? Masih belum kelar sama keterkejutan pascapengakuan Tian soal cemburu, sekarang kalimat ajakan sakral itu yang melesat secara mendadak dari bibir yang sama.

"Hah?" Jean planga-plongo, cengo, melongo. Dia cuma mampu nanggapin kayak gitu.

"You heard me. Ayo ngewe."

"Why? So sudden?" belum mengiyakan─iya, belum, siapa tahu nanti bakal jadi sebaliknya─ajakan itu, Jean jadi banyak nanya.

"You drunk, aren't you?"

Nggak langsung jawab, Tian malah cekikikan. Ekspresi Jean yang clueless itu betulan menggelitik. Lucu aja gitu lihat dia kebingungan dan keheranan. Tian akhirnya ambil andil untuk kikis jarak antarkeduanya, nggak sampai deket banget, cuma jadi lebih intim posisinya. Masih dengan dia di atas karpet dan Jean di tepi ranjang, tatapan intens dipakukan untuk nunjukkin keseriusan yang tergambar di maniknya.

"Gua nggak gampang mabok dan gua sekarang lagi waras banget."

"So, you want me to fuck you?"

"Yes."

"No regrets?"

"Nope, unless you play it awful."

Terhadap tantangan itu, Jean terbahak. Dia ketawalah, gimana nggak? He's good at sex, the fact has been approved. Cuma memang Tian belum paham, jadi dia harus kasih paham lewat aksi─bukankah begitu, saudara-saudara?

"You'll be wrecked."

Tian semakin tergugah. Berawal dari rasa penasaran, berpindah ke percikan hasrat, dan berakhir pada segelintir gairah. Momennya tepat, dia nggak mau kelewat. Masa bodoh mengenai rasa lelah, keputusannya udah mutlak.

"Good, wreck me up until my wrecked mind only thinks about you."

Edit
Pub: 19 Feb 2022 19:53 UTC
Edit: 20 Feb 2022 12:01 UTC
Views: 3587