KATING ANEH: TIGA PULUH.
️️ ️️
️️ ️️
Bungkam. Acara makan siang kali ini teramat senyap. Nihil yang buka percakapan. Malik agaknya hendak curahkan atensi pada makanan yang disantapnya, sedangkan Tian masih terombang-ambing pikirannya.

Tempat yang sama dengan tempat di mana Tian nerima perasaan Malik, rasanya jadi kayak deja vu meskipun nggak seratus persen begitu─karena Tian waktu itu jadi orang paling bahagia sedunia, tapi sekarang, malah telak kebalikannya.

"Ti, kok kamu diem aja?"

Malik mencoba rajut konversasi begitu suapan terakhirnya udah ditelan. Bersamaan dengan denting sendok dan garpu yang bersinggungan sama piring, dia lekatin tatapan ke arah sosok lawan bicaranya.

Yang ditatap lekas memandang balik. Sama, Tian juga rapiin dulu letak sendok dan garpu yang barusan dia pakai. Baru setelah itu, semua fokusnya berlabuh ke arah Malik, sambil diem-diem kumpulin kekuatan batin supaya nggak kelihatan sedih, apa lagi nangis.

"Kak, aku ..."

Akhirnya, Tian bersuara. Nada yang melesat kedengeran rendah dan serius, jelas bikin rasa penasaran Malik tergugah.

"Aku ... mau kita putus."

"Hah?"

Nggak mungkin nggak kaget, Malik betulan kaget sama ucapan yang menurutnya aneh itu. Hal tersebut disampaiin lewat air mukanya, juga sebelah alis yang udah menjungkit spontan.

"Hah, kok putus? Apaan, sih, kamu?" dia denial, semuanya serba dadakan dan dia memilih untuk bersikap skeptis, "ini prank, ya?"

Tian narik napas dalam-dalam, berusaha penuhin seisi rongga parunya yang mulai kerasa sesak. Sepasang tangannya mengepal, digeletakkin di atas meja supaya bisa istirahat dan punya tumpuan.

"Nggak, Kak, aku serius. Ayo putus."

Makin kaget, Malik nggak nyangka kalau Tian saat ini beneran serius sama ajakannya. Where did he do wrong? Selama ini, dia berusaha jadi pacar yang baik buat Tian, terus kenapa malah diputusin nggak pakai aba-aba gini?

"Apaan, sih, Ti ... aku salah apa coba? Kenapa harus putus? Kamu udah nggak sayang sama aku?"

"No, please, stop. Let me explain," intonasi Tian dibawa tegas sekarang, hendak bantah semua pertanyaan melas yang dilontarin Malik kepadanya. Ampuh juga, Malik langsung bergeming di tempat, nunggu penjelasan.

"Aku nggak mau point out kesalahan Kakak, tapi aku mau kasih tau apa yang aku rasain. Kak, semingguan terakhir ini, tuh, Kakak jadi jarang luangin waktu buat aku. Sadar nggak? Kakak ghosting aku terus, bales aku lama, ketemu sama aku cuma pas makan siang, kadang malah nggak ketemu sama sekali. Kita kurang komunikasi and that sucks."

Tian nggak mau kelihatan lemah sama sekali, tapi dia sulit kendaliin diri. Maniknya udah berkaca-kaca, air matanya udah ngumpul di pelupuk─bisa meluncur keluar kapanpun tanpa perlu wanti-wanti.

"Aku capek ... I feel like I'm fighting on this relationship alone. Aku nggak tau kenapa Kakak sekarang berubah jadi sibuk banget, tapi serius, aku mau kita putus aja."

"Ti, astaga," Malik empas napas berat, sambil usap wajahnya kasar, sedikit-banyak berusaha untuk usir frustrasi yang seketika nerjang dia.

"Aku akhir-akhir ini sibuk karena emang sibuk, Ti. Aku nggak bermaksud buat tinggalin kamu, kok? I mean, aku sekarang lagi banyak tugas, belum lagi ngurusin FEB Cup udah H-3. Kamu tau nggak kalau aku bolak-balik terus ke BPH? Banyak yang perlu aku koordinasiin sama mereka."

Bohong.

"Terus aku juga lagi ada banyak urusan keluarga. Mama sering minta aku pulang cepet buat ngurus itu. Jadinya aku capek banget, makanya kadang suka keburu ketiduran sebelum bisa hubungin kamu."

Urus keluarga atau urus Keara?

Air mata Tian berlari dari sarangnya tanpa disuruh. Gesit, langsung disingkirin jejaknya oleh si pemilik. Tian nggak mau nangis di depan Malik, kelihatan cengeng jelas bukan pilihannya.

"Aku ... aku tetep mau putus," itulah keputusan final yang Tian ajuin, sambil mati-matian nahan supaya suaranya nggak kedengeran bergetar.

"Ti, seriously? Ini permasalahan yang bisa kita omongin baik-baik. Harusnya kamu nanya dulu ke aku, kenapa aku hilang-hilangan, daripada kamu langsung mutusin aku kayak gini."

Sekali lagi, Malik campakkin karbondioksida, dia hela napasnya dalam keadaan gusar. Habis itu, tubuhnya digiring maju, singkirin beberapa jarak antara dirinya sendiri dan Tian, sambil perdalam tatapannya pada cowok di hadapannya itu.

"Look, ini udah H-3 FEB Cup, aku nggak mau tambahin beban untuk kita berdua. Jadi, please ... kamu bisa nggak dewasa sedikit? Kita selesaiin masalah ini dengan kepala dingin."

Dewasa, dewasa, ngentotlah, Tian misuh dalam hati. Perasaannya mulai berkecamuk, diselimuti amarah, sedih, dan muak. Dia pengen banget nampar pipi Malik sekenceng-kencengnya, teriakin berbagai sumpah serapah, dan langsung pergi dari tempat itu gitu aja. Tapi dia nggak bisa, dia dilarang pilih jalur anarkis kayak gitu. Alhasil, dia cuma bisa bangkitin kemampuan pertahanan diri dan berupaya untuk selesaiin ini semua dengan berpegang teguh sama keputusannya.

"Kak, please. Aku udah mikirin ini semua mateng-mateng. Ini bukan perkara ngomongin dulu ke Kakak atau apa. Aku tau Kakak lagi sibuk, dan aku nggak cukup sabar untuk hadapin itu. Jadi, aku pikir kita emang lebih baik putus aja. Kakak bisa urus semua urusan Kakak tanpa perlu kebebanin tanggung jawab untuk ngabarin aku, aku juga jadi nggak perlu terus-terusan nunggu kabar dari Kakak."

Hening. Malik udah melengos, alihin pandangannya dari Tian. Rautnya udah bercampur antara marah dan nggak percaya, dia nggak paham lagi mesti ngomong apa. Pikirannya masih menolak mentah-mentah ajakan putus dari Tian, dia ngerasa ini nggak adil buat dia. Apa lagi, alasan yang Tian ungkapin itu kedengeran cukup sepele baginya, jelas bisa dituntasin dengan diskusi baik-baik aja.

"Hhh ... brengsek," beneran kenceng banget bunyi deru napas Malik, terlebih diikuti sama sebuah umpatan, tanda mutlak kalau dia udah mumet setengah mati.

"Kamu egois banget, Ti."

Sekarang, Malik udah bangkit dari duduknya. Dia udah sampirin tas ranselnya di sebelah pundak, udah ambil ancang-ancang untuk minggat dari situ. However, dia sempatin untuk natap pacarnya─atau mantan, ya?─dan lesatin sebuah keputusan juga.

"You do you ajalah. Kalau mau putus, ya udah."

Oh, great. Tian looks like the real bastard by this moment. Bersamaan dengan presensi Malik yang semakin menjauh, air mata Tian jatuh. Dia terisak, nangisin keadaannya yang berantakan, yang udah dicap sebagai manusia brengsek sama dua orang, Jean dan Malik.

Sebagian dari dirinya berusaha untuk kasih validasi kalau apa-apa yang dia lakuin itu bukan salahnya, tapi sebagian yang lain juga terang-terangan nyalahin dirinya sendiri karena udah buat segalanya jadi runyam.

Edit
Pub: 18 Feb 2022 07:27 UTC
Edit: 18 Feb 2022 12:00 UTC
Views: 4287