KATING ANEH: SEMBILAN BELAS.
️️ ️️
️️ ️️
Tian dan Malik udah ada di dalam tempat yang sama, di mobil Corolla Cross punya Malik. Sesuai janji, Malik jemput Tian dari rumah sakit, tepat pada waktu yang mereka tentuin sebelumnya. Nggak ada pembicaraan, hampir setengah jam udah lewat, tapi mereka asik diem-dieman sambil ditemenin lagu santai yang ngalun dari radio.

Tian sendiri memang masih agak males kalau harus jadi pembuka konversasi. Bukannya pendendam atau gimana, tapi dia sedikit-banyak masih dibelenggu rasa kaget karena ulah Malik kemarin.

"Ti, gimana papa kamu?"

Akhirnya, Malik yang ambil inisiatif. Satu pertanyaan itu dilontarin dengan kasual, berusaha pecahin canggung yang ada. Tian noleh sebentar, cuma buat lihat ke lawan bicaranya, sebelum balik lagi natap jalanan yang terbentang di depan.

"Baik, puji Tuhan. Udah sadar dan bisa gerak, kok, cuma emang harus banyak istirahat."

Malik ngangguk pelan begitu denger informasi bagus itu, "Good then, I'm relieved. Kamu sendiri gimana, Ti? You okay?"

Tian mikir-mikir dulu sebelum jawab ini. Antara baik atau nggak, dia ada di tengah-tengah, tapi akhirnya dia tepis segala niat untuk jawab "nggak" dan milih untuk kasih tahu Malik pilihan yang satunya.

"I'm good, Kak. Makasih udah nanyain."

"Nggak perlu bilang makasih," sambil ngucap gitu, Malik curi lirikan ke samping kiri. Sebelah tangannya juga udah terulur, nemplok di puncak kepala Tian, sengaja mau usap-usap pelan helai rambut yang lembut itu.

"Aku beneran khawatir soalnya, jadi nggak perlu dimakasihin, ya?"

Sebagai pihak yang dapat perlakuan hangat kayak gitu, Tian meleleh. Ya, gimana nggak? Meskipun dia sempat kesel sama Malik, kakak tingkatnya itu tetep orang yang dia sukain. Nggak mengherankan sama sekali kalau Tian seneng karena bisa jadi saksi mata dari tingkah gentle-nya kayak gitu. Bahkan, Tian nggak segan-segan buat nunjukkin perasaannya. Tuh, kelihatan dari senyuman yang tiba-tiba udah muncul aja di muka.

"Iya, Kak."

Dibalas senyum yang mirip-mirip, Malik usak-usak lagi rambut Tian. Sekali lagi, bentar doang, soalnya dia mesti balik fokus nyetir.

Kampus udah ada di hadapan mata, ternyata jalanan nggak begitu macet hari ini. Setelah sukses parkir di salah satu titik, mereka berdua sama-sama lepasin sabuk pengaman. Tian udah ada ancang-ancang buat turun dari mobil, tapi keburu ditahan sama Malik.

"Ti," sebelah tangan ngeraih lengan Tian, dipegang pelan-pelan aja, "aku mau ngomong dulu bentar."

Karena pergerakannya ketahan, juga atensinya udah kecuri sama omongan Malik, Tian akhirnya diem di tempat. Dia balik duduk manis lagi, sambil ngehadap Malik untuk natap cowok itu lekat-lekat.

Malik agak gugup. Dia nelen ludah berulang kali, sebelum narik napas sekali. Dipandangnya balik sosok adik tingkatnya itu, intens, sambil genggam sebelah tangan untuk dikasih elus lemah lembut.

"Ti ... aku mau minta maaf soal kemarin. Kelakuanku udah di luar batas, I know. I went overboard."

Tian bungkam aja, dia belum ada niat buat bicara dan biarin Malik ngomong dulu sesuka hatinya.

"I didn't mean to harm you. Itu karena aku khawatir aja sama kamu, tapi aku tau caraku salah. Maaf, ya, Ti?"

Ada jeda tercipta, Tian manfaatin waktu itu untuk umbar senyum lagi, sebagai jawaban atas permintaan maaf. Dia udah nggak masalah sama sekali sekarang, apa lagi Malik minta maafnya dengan tingkah yang sebegini lembut, tatapannya juga kelihatan tulus.

"Aku udah maafin, kok, Kak. No worries."

Malik senyum lebar, pamerin deretan giginya juga. Tapi belum kelar, masih ada satu hal lagi yang dia pengen ungkapin. Genggamannya pada tangan Tian dipererat, malah sekarang udah dua tangan. Ekspresinya masih penuh kehangatan, nggak lekang juga itu tatapannya dikasih ke cowok manis di hadapannya.

"Thank you, Ti," sekali lagi, dia kasih jeda, "therefore, ada satu lagi yang mau aku omongin ..."

Tian mengerjap, dia bingung sekaligus penasaran. Apaan, tuh, yang mau diomongin? Tapi lagi-lagi, dia diem aja, nunggu kakak tingkatnya selesai sama semua omongan.

"Ti, I like you. Lebih dari itu, I want to be by your side. Aku mau ada di sisi kamu, aku mau jagain kamu, aku mau temenin kamu, aku mau jadi tempat kamu buat berkeluh-kesah, aku mau jadi tempat buat kamu ngadu, aku mau jadi rumah kamu."

"Aku sayang sama kamu, Ti ... do you want to be mine?"

Anjir, Tian nggak berekspektasi apa-apa soal ini. Dia ditembak?! Cengo bukan main, mukanya udah penuh sama ekspresi kaget. Speechless, pokoknya, nggak bisa berkata-kata.

Malik yang ngeh kalau Tian kaget banget langsung ketawa, buat cairin suasana juga biar nggak tegang-tegang amat.

"Nggak perlu dijawab sekarang, kok. Kamu boleh jawab besok, besok, besok, besok, terserah kamu pokoknya," Malik sempat nyengir dulu, "asal jangan kelamaan, keburu akunya lumutan."

Masih tenggelam dalam suasana kaget, Tian belum bisa timpalin apa-apa. Dia masih melongo, natap kakak tingkatnya yang malah kelihatan santai itu. Well, kalau boleh jujur, Tian seneng. Dia seneng banget karena habis ditembak sama orang yang dia suka, itu artinya perasaan dia nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi di sisi lain, dia juga ragu untuk terima ajakan pacaran dari Malik. Dia udah tahu satu sisi yang kurang bisa dia terima dari cowok itu, takutnya kalau mereka lanjut pacaran, ada kalanya dia malah nggak nyaman tiap harus berhadapan sama sisi itu.

"Em ... Kak," Tian akhirnya angkat bicara, dia nggak bisa terus-terusan diem seribu bahasa, "I guess, I need to consider? Aku mungkin harus mikir beberapa hal dulu, jadi gapapa kalau aku nggak jawab sekarang?"

Malik cuma bisa ngangguk, sambil senyum tentunya. Kayak yang dia udah bilang barusan, dia nggak akan maksa Tian untuk jawab sekarang, terlebih dia nembaknya tiba-tiba banget, pastilah bikin kaget.

"Gapapa, Ti, take your time. Kasih tau aku kalau kamu udah punya jawabannya, I'll be waiting."

Giliran Tian yang ngangguk. Habis ini, dia bakalan merenung panjang. Semoga dia dapat pencerahan, ya.

Edit
Pub: 13 Feb 2022 08:52 UTC
Views: 3736