KATING ANEH: EMPAT PULUH TUJUH.
️️ ️️
️️ ️️
Ancol nggak begitu ramai, mengingat belum masuk musim liburan sekolah dan hari ini bukan akhir pekan. Jean udah ngerencanain liburan ini dengan matang dan ideal supaya bisa berjalan sesuai keinginan dan tujuan, yaitu ngelepas penat.

Jean, Tian, Yudha, Dera, dan Jonathan─minus Bintang karena dia mangkir dulu soalnya ada jadwal manggung yang nggak bisa dibatalin─lagi duduk-duduk santai di kursi berbahan kayu. Di depan mereka, ada meja besar yang dijadiin tempat singgah buat gelas-gelas berisi minuman yang udah dipesan. Iya, mereka lagi mau makan malam. Menunya seafood, ditemenin sama suasana pantai yang nggak adem-adem banget, tapi lumayan ada angin sepoi-sepoinya. Mantap, deh, pokoknya.

"Guys, main truth or dare, yuk?"

Ajakan Jean itu ngundang atensi dari mereka yang awalnya sibuk sama kegiatan masing-masing, ada yang ngobrol ngalor-ngidul, ada yang foto-fotoin pantai, ada yang lagi chat sama bebebnya (dibaca: Jonathan).

"Yaelah, klasik bener. Bosen bosen!" tolakan mentah-mentah datang dari Jonathan.

"Yeee, daripada lu kesepian 'kan kagak ada bebeb. Mending main, dah, kita."

"Tai emang," Jonathan ngumpat begitu denger argumen dari Jean, bikin yang ada di situ pada ketawa, "ya udah, ayo dah!"

"Pake apa ngegilirinnya?" Yudha yang anteng-anteng aja dari tadi sekarang ikut buka suara.

"Pake itu aja, tuh, pulpen," telunjuk Dera diacungin ke arah pulpen yang tadi dipakai mereka buat tulis pesanan, belum sempat diambil lagi sama mbak-mbak pelayan yang kerja di tempat makan ini.

"Ih, pinter banget, pacarku," sebelah tangan Yudha udah iseng singgah di puncak kepala pacarnya itu, sebelum ngusak-ngusak helai rambutnya, bikin si pemiliknya ikut terkekeh.

Atas pemandangan uwu-uwu yang tampak tepat di depan mata, Tian protes, "Setdah, dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak!"

"Lu jangan iri gitu, dong, Ti. Itu Jean di samping lu."

Jean refleks ketawa waktu denger timpalan dari Dera untuk protes yang melayang dari Tian itu. Alhasil, dia langsung rentangin sebelah tangan untuk ngerangkul gebetannya itu, bikin jarak antarkeduanya otomatis kekikis.

"Dah, sut suuut! Ayo mulai."

Pulpen ditaruh di bagian tengah meja, diputar cepat. Semua pandangan tertuju ke situ, nunggu banget siapa yang kira-kira dapat giliran. Voila, ternyata Jonathan!

"Anjiiiing, ngapa gua duluan?" merasa nggak terima karena nasibnya apes, Jonathan spontan lesatin protes.

"Hahahaha! Mampus lu. Buru, truth or dare?"

"Truth, dah, truth."

"Oke, gua yang nanya duluan ya, guys," Jean minta izin ke peserta permainan yang lainnya, cuma ditanggap sama anggukan setuju aja.

"Udah pernah ngewe berapa kali selama hidup?"

"Bangsaaaaat!"

"Hahahaha, mampussss!"

"Jawab jawab!"

"Eh, rekam rekam! Ntar kirimin ke Bintang!"

Suasana langsung berubah jadi ricuh dan riuh. Yudha beneran ngeluarin ponselnya dan buka fitur voice recorder untuk ngerekam jawaban dari sohibnya itu.

"Aduh, brengsek emang," misuh dulu karena punya temen-temen yang ngeselin, Jonathan nggak punya pilihan lain juga, akhirnya dia langsung jawab aja, "udah tiga kali, nggak sebanyak Jean."

"Bangke, ngapa jadi bawa-bawa gua?!"

"Hahahaha, tai, lucu banget!"

"Ya, 'kan, bener? Lu ngewe mulu kerjaannya!"

"Jancok!" ngerasa makin tersudutkan─meskipun paham betul kalau itu cuma bercanda, Jean buru-buru alihin topik, "dah dah, buruan dah puter lagi itu pulpen."

Tian ulurin sebelah tangannya, dia yang muterin pulpen itu lagi. Beberapa detik lewat, akhirnya gerak si pulpen melambat ..., dan berhenti di Yudha!

"Truth," Yudha langsung ngejawab tanpa ba-bi-bu, nggak perlu ada yang nanya dulu. Dia udah yakin sama pilihannya, truth itu yang paling aman. Sohib-sohibnya itu berotak sengklek, jadi kalau dia pilih dare, nanti pasti dikasih yang aneh-aneh.

"Weitseeeh, gercep amat, bro," Jonathan berkomentar, diiringi sama ketawa.

"Gua mau, gua mau," karena ini giliran Yudha, Dera inisiatif buat ajuin pertanyaan.

"Gils gilsss, mau nanya apa ini ya, ibu negaranya Yudha?"

"Dera kalau udah kepo suka serem, loh, aslinya!"

"Jiah, mampus mampus!"

Dapat banyak respon panas alias dikomporin sama sekitarnya, Yudha nggak kepengaruh sama sekali. Dia nggak terintimidasi atau takut sama apapun pertanyaan dari pacarnya karena dia yakin, dia pasti bisa jawab.

"Emang bener, ya ... Abang pernah nggak cebok waktu berak di toilet kampus?"

"Pfft─HAHAHAHAHAHA!"

"ANJIIING, EPIC BANGET PERTANYAANNYA!"

"HAH, SERIUS?! KOK BISA?"

Sekarang, Yudha cuma bisa mingkem sambil nahan rasa malunya mati-matian. Dia pikir, Dera bakalan nanya soal mantannya, masa lalunya, atau hal-hal yang sekiranya menunjang hubungan mereka─tapi ternyata, nggak sama sekali. Yang ditanya malah hal yang nggak penting, tapi cukup memorable karena kejadian itu pernah dijadiin bahan ejekan Jean dan Jonathan buat dia selama tiga hari berturut-turut.

"Kok kamu tau, sih, yang?"

Dera cuma angkat bahu pas ditanya begitu, sebelum ikut ketawa juga, "Nge-stalk Twitter."

"Wuuu, gila gila, penyelam handal!"

"Iya, dah. Padahal itu tweet udah setahun yang lalu kagak, sih?"

"Bener-bener. Keren bet, Dera."

Ya, kalau udah gini, Yudha nggak bisa banyak alibi. Orang buktinya udah jelas, saksinya juga hadir di sini semua.

"Iya, bener," akhirnya dijawab, sempat ngejeda sebentar buat mulai jelasin, mengingat tadi Tian nanya latar belakang kejadian itu kayak gimana.

"Jadi, waktu itu gua kebelet berak banget, tapi udah lima menit sebelum ujian. Gua akhirnya sempetin berak, gua keluarin semuanya, gua siram-siram ... eh, gua malah lupa cebok. Baru inget pas udah pake celana lagi. Tapi nggak bau alhamdulillah, soalnya gua sempet siram dulu jadi nggak ada yang nempel tainya."

Serius, penjabaran itu rinci banget dan mereka masih ada di tempat makan. However, suara Yudha diusahain dibuat sekecil mungkin, hampir kayak bisik-bisik biar nggak kedengeran sama orang-orang di meja sebelah. Jorok, anjir.

"Anjiiiir, keren," Tian kagum sama pengalaman hidup Yudha, dia sampai tepuk tangan juga. Hal itu sontak bikin yang lainnya pada ketawa.

"Oke, next," Jean ambil kendali atas pulpen di atas meja, diputer lagi sebagai tanda kalau permainan mereka masih lanjut. Ya, soalnya belum ada tanda-tanda makanan pesanan mereka bakal datang juga, sih.

Ngomong-ngomong, pulpennya berhenti di Jean, bikin mereka semua jadi bersorak lagi.

"Hahahahaha, dia yang muter, dia juga yang dapet. Mampus!"

"Asik si Jean, gua mau bales dendam!"

Jean, sih, ketawa-ketawa santai aja. Nggak ada yang mesti ditakutin. Toh, Tian udah tahu tentang seluk-beluk dia, mulai dari yang paling terang sampai yang paling gelap. Jadi, nothing to be worried about, 'kan? Tapi, karena Jonathan punya niat terselubung, dia jadi nggak pengen pilih truth biar sohibnya itu nggak bisa bales dia dengan kasih pertanyaan yang di luar nalar.

"Gua dare."

"Wanjaaay, babang fearless!"

"Hahahaha, tai! Cringe banget!"

"Oke," namanya Jonathan, ya, tetep Jonathan. Ada segudang ide usil di dalam otaknya, "kalau gitu, sekarang make out sama Tian, di sini, di depan kita."

"Anjing?!" Tian yang kaget, dia nggak nyangka dare yang dikasih untuk Jean itu pakai ngelibatin dia segala.

"Jo, bangsaaat! Lu ngapa narik-narik Tian juga, setdah, kasihan anak orang."

Kepala Tian udah noleh ke arah samping, mau natap gebetannya yang barusan layangin protes itu. Kedua lengannya udah diulur, sengaja biar bisa ngelingkar di pundak Jean. Inci demi inci ditepis, wajah keduanya udah saling berhadapan dengan jarak yang terlampau dekat.

"Wooo, cium cium cium!"

Penonton bereaksi heboh, bikin keadaan di situ jadi berisik. Beberapa pengunjung tempat makan ini yang duduk di meja-meja lain juga sempat curi-curi lirik ke Jean dan Tian yang udah hampir ciuman, mungkin sebagian ada yang gibahin mereka juga, tapi kedua pelaku itu acuh total.

Bukannya berhenti, Jean juga selipin sepasang tangannya di sekitar pinggang Tian, ngerengkuh tubuh yang lebih mungil daripada punyanya itu. Well, tunggu apa lagi sekarang? Nggak ada. Mereka udah tautin bibir untuk menjalin cumbu. Nggak cuma sekadar nempel, tapi mereka saling beradu pagut dan lumat.

"Anjiiir! Beneran, dong!"

"Wah, gila gila. Gua kudu pantengin!"

Antusiasme dari penonton itu bikin mereka jadi makin terpacu. Jean tingkatin permainan dengan libatin lidahnya, lekas ditanggap sama Tian yang juga julurin lidahnya untuk membelit. Bunyi decak sesekali merambat, kedengeran di telinga temen-temen mereka yang lagi asyik pantengin.

Nggak mau kehilangan momen, apa lagi karena dare-nya adalah make out, sebelah tangan Jean ngerangkak ke bawah. Dia sengaja mau ketemu sama bongkahan sintal milik Tian yang kebungkus rapi sama celana. His palm fits the ass very well, jadilah dia nggak tanggung-tanggung hadiahin remasan di sana, bikin pemiliknya dilanda keterkejutan.

"Mhm!" erangan tertahan sempat keselip dari balik bibir yang masih sibuk bekerja, tapi Tian buru-buru fokus lagi ke permainan.

Nggak mau kalah, salah satu tangannya juga udah merayap, samperin dada Jean yang bidang. Dikasih elusan dan usapan sirat sensual di sana, sebelum meluncur lagi ke bawah, dan mendarat tepat di selangkangan. Diem doang udah pasti nggak ada gunanya, alhasil, dia gerakkin jari-jemarinya untuk mainin kejantanan punya gebetannya yang juga masih terbalut rapi, ngasih beberapa remasan yang cukup mampu untuk percik gairah, sebelum ...

"Permisi, ikan ... gurame bakarnya ..."

Sepasang sejoli yang lagi seru-serunya berkegiatan itu refleks cepat-cepat lepasin cumbuan dan balik duduk manis sesuai posisi mereka semula. Sementara itu, mbak-mbak pelayan yang barusan nganterin makanan udah keburu syok sama apa yang dia lihat.

Edit
Pub: 25 Feb 2022 20:28 UTC
Edit: 26 Feb 2022 06:48 UTC
Views: 1835