KATING ANEH: EMPAT PULUH TIGA.
️️ ️️
️️ ️️
"Mau ngapain, sih, itu orang?"

Jean protes, sambil rebahan di kasur Tian. Mulanya, mereka berdua lagi sama-sama belajar untuk ujian besok, sebelum ada chat masuk dari Malik. Tian panik, nggak mungkin nggak. Dia langsung laporan ke Jean yang lagi fokus banget baca buku, bikin cowok itu jadi alihin semua atensinya untuk ladenin dia.

"Nggak tau, ih," parno, Tian udah pasti takut dan cemas kalau-kalau Malik mau apa-apain dia, "gimana, ya?"

Sambil nutup buku yang masih kebuka, Jean embusin napas. Dia bangkit dari posisinya dan milih untuk duduk, ngehadap ke arah Tian yang lagi singgahin kursi belajar punyanya sendiri.

"Nggak gimana-gimana. Gapapa, taman eko, 'kan, pasti banyak orang. Dia nggak akan macem-macem."

Air muka Tian masih disesaki gusar. Ucapan Jean nggak salah sama sekali, tapi dia masih sedikit overthink, tipikal dirinya. Ngeh kalau si gebetan lagi mikir yang macem-macem, Jean buru-buru berdiri. Kakinya udah jejakin karpet beludru yang nyelimutin lantai, tarik langkah supaya bisa nyamperin cowok manis yang tenggelam sama benaknya sendiri.

"Nggak usah mikir aneh-aneh dulu," sepasang lengan Jean udah melingkar di sekitar pundak sosok di hadapannya, bawa dia ke dalam pelukan hangat dengan intensi supaya bisa menenangkan. Sebelah telapak tangannya juga udah bergerak untuk kasih usapan-usapan pelan di punggung.

"Kalau ada apa-apa, teriak aja. Maaf besok nggak bisa temenin."

Mendengar permintaan maaf dari Jean, kepala Tian refleks dongak. Kedua ujung alisnya udah saling bertautan, nunjukkin kalau dia lagi dilanda keheranan.

"Kok minta maaf? Ya, gapapalah, Je," agak bersungut, Tian berusaha menyanggah, "lu 'kan ada jadwal, masa maksain buat temenin gua? Lagian lu nggak mesti temenin gua terus, kok."

Kini, giliran Jean yang berkerut kening. Kenapa kesayangannya yang satu itu mendadak lempar tantrum? Kayak lagi percikkin api kecil untuk bakar sumbu emosinya lewat sanggahan itu, khususnya, kalimat yang terakhir diucap.

"Kok gitu, sih, ngomongnya?"

"Ya, emang gitu kenyataannya. Nggak ada keharusan buat lu temenin gua terus, Je."

Sebelum sumbunya betulan kebakar, Jean embusin napas pelan-pelan, berupaya untuk kendaliin diri sendiri.

"Jangan ngomong gitu, Ti," ngejeda sebentar, jemari Jean berlari untuk ketemu sama helai rambut Tian, dikasih usapan samar.

"Emang nggak ada keharusan buat gua nemenin lu terus, but I want to. Gua beneran pengen make sure lu nggak kenapa-napa. As simple as that."

"Iya, paham. Tapi lu nggak harus minta maaf juga," suara Tian melemah, polah penuh atensi dan afeksi dari Jean bikin dia jadi ciut dan salting sendiri, "I don't like it kalau lu minta maaf, kecuali kalau lu emang punya salah."

Supaya suasana nggak makin aneh karena sesi argumen mereka yang tiba-tiba kejadian tanpa aba-aba, Jean lepasin kekehan. Debat kusir kayak gini adalah yang pertama kali baginya, yang akhirnya dia pahami kalau hal semacam itu memang lumrah untuk terjadi dalam suatu hubungan.

"Oke, oke. Gua tarik lagi maafnya. In return, tarik juga omongan lu yang tadi, ya?"

Terhadap penawaran itu, Tian ngangguk setuju. Sepasang lengannya udah terangkat untuk rengkuh cowok tinggi yang setia berdiri di depannya, bikin mukanya langsung berhadapan sama perut, mengingat dia sendiri masih duduk di kursi.

"Gemesnya kesayangan gua."

"Diem," Tian menegur, sambil eratin pelukan. Hal itu jelas bikin Jean malah ketawa karena gemes.

"Ayo belajar lagi," ajak Jean setelah kelar sama agenda ketawain gebetannya yang lucu setengah mampus itu. Tian spontan longgarin pelukan, nengok ke atas supaya bisa arahin tatapan semata-mata ke Jean doang.

"Mau cium."

"Kalau cium, nanti malah keterusan ngewe."

"Gapapa."

Tian, tuh, gampang banget bikin Jean oleng. Perkara belajar, Jean nggak pernah main-main. Dia biasanya bakalan seharian baca buku atau pelajarin materi yang jadi bahan ujian untuk esok hari, tapi sekarang, seleranya lebih tergugah atas godaan secara nggak langsung dari sosok yang udah penuhin indra penglihatannya itu.

Kalau udah begini, mana bisa nolak?

Alhasil, Jean merunduk. Tubuhnya dibuat bungkuk, biar bisa hapus spasi antara dia dan Tian. Bibir itu udah jadi sasaran, langsung dikunci sama bibirnya sendiri, bertaut untuk membentuk cumbuan. Mereka saling pagut-memagut, lumat-melumat, sesap-menyesap, sampai bilik itu dikepung sama suara-suara decakan dan basah yang nyaringnya bukan main.

Setelah itu, mereka ... ya, bayangin sendiri ajalah, ya?

Edit
Pub: 24 Feb 2022 09:42 UTC
Edit: 24 Feb 2022 10:24 UTC
Views: 3314