KATING ANEH: EMPAT PULUH LIMA.
️️ ️️
️️ ️️
Begitu terima kabar kurang baik, Jean bergegas cabut dari kampus begitu udah selesai ujian. Rencana untuk nyusul Tian dan pantau gebetannya dari kejauhan buat jaga-jaga terpaksa harus dibatalin. Nggak masalah juga, dia yakin Tian bisa ngatasin Malik dan tetek-bengeknya dengan baik.

Anyway, Jean udah nggak pulang ke rumah selama seminggu lebih. Waktu yang cukup lama, tapi orang tuanya nggak pernah telepon atau chat dia sampai tadi papanya nge-chat dan cuma karena mau informasiin kalau mamanya sakit. Mau sedihpun rasanya udah nggak faedah, Jean udah terbiasa ngehadapin sikap abai dari orang tuanya itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Tumben. Jean sempat cengo karena dia denger ada yang jawab salam dia. Itu Risjad, papanya Jean, kebetulan beliau lagi duduk di ruang tamu sambil baca koran. Jadi nggak mungkin dia nggak jawab salam itu, nggak mau dosa.

Semula masih bergeming di tempat karena saking kagetnya, Jean udah pelan-pelan ngelangkah masuk ke dalam rumah. Sebelah tangannya diulur sambil tubuhnya merunduk, yang lekas disambut sama Risjad karena tahu anak semata wayangnya itu mau salam.

"Mama di kamar?" tanya Jean, yang mungkin kedengeran retoris dan basa-basi, soalnya mamanya itu pasti ada di kamar kalau lagi sakit.

"Iya."

"Ya udah, aku ke kamar dulu."

"Bentar, Je," Risjad melipat korannya, duduknya udah tegak, "kamu ke mana, kok seminggu nggak pulang?"

Lagi-lagi, Jean mesti kaget sekaligus heran atas pertanyaan itu. Gerak kakinya langsung berhenti, diem aja sambil arahin pandangan ke papanya.

"Aku ... di kosan temen?" agak-agak bingung mesti jawab gimana, akhirnya Jean pilih jawaban yang dirasanya paling tepat, "kenapa emang?"

"UAS kamu gimana?"

Oh, great. Ya, lebih baik begini, lebih sesuai ekspektasi. Jean juga nggak perlu dilanda kebingungan untuk pilih kata buat ngasih jawaban ke papanya atas pertanyaan-pertanyaan aneh kayak yang beberapa waktu lalu dia denger.

"Nggak gimana-gimana. Baik-baik aja, kok, ini masih UAS."

"Ya udah, bagus. Nilainya jangan sampe jelek."

"Iya," karena nggak betah sama konversasi ini, Jean buru-buru pengen rampungin, "ya udah, aku ke kamar dulu."

Begitu dapat anggukan dari Risjad, Jean meringsut cepat untuk masuk ke kamar. Di atas ranjang, Ranti lagi terbaring lemah. Mukanya agak pucat, undang rasa iba untuk bangkit di dalam diri Jean.

"Ma," Jean menyapa, sambil ulurin tangan untuk salam, "sakit apa?"

"Eh, Je ... gapapa, mama demam aja ini."

Jean bersimpuh di atas lantai, tepat di pinggir kasur, supaya bisa lihat lebih jelas sosok mamanya itu.

"Udah ke dokter, Ma?"

"Belum, nanti aja ... baru demam dari semalem, obat juga masih ada."

Mengangguk paham, Jean akhirnya genggam tangan mamanya itu untuk cek suhu tubuhnya. Memang panas, tapi keringat dingin juga.

"Ya udah. Kalau besok belum sembuh, ke dokter, ya."

"Iya, Je," Ranti mengulum senyum, dia sedikit-banyak senang punya anak yang perhatian kayak Jean, "kamu gimana, Je? UAS-nya?"

Ya, sekali lagi, Jean nggak kaget sama pertanyaan itu. Alhasil, dia cuma ikut ulas senyum, nggak mau tarik urat kayak pas ngejawab papanya tadi─mengingat mamanya lagi sakit.

"Baik-baik aja. Ini masih UAS, kok."

"Semangat, ya, Je. Semoga IP kamu lebih bagus daripada semester kemaren."

"Iya, Ma."

Meskipun suasanya lebih hangat daripada percakapan dia dan papanya, Jean nggak banyak gulirin topik untuk dibahas. Dia jadi cenderung pendiam, beda banget sama dirinya kalau lagi di luar rumah. After all, dia nggak merasa ada urgensi untuk banyak-banyak ngobrol sama kedua orang tuanya. Toh, apapun yang lagi dibahas, ujung-ujungnya pasti berlabuh ke nilai dan kegiatan akademis semata.

Edit
Pub: 25 Feb 2022 07:46 UTC
Edit: 25 Feb 2022 08:22 UTC
Views: 2998