KATING ANEH: SEBELAS.
️️ ️️
️️ ️️
Jean dan Tian udah ada di Warmindo Bu Anang, warmindo langganan Jean. Dia harus makan di situ minimal sebulan sekali, udah jadi kebiasaan sekaligus kewajiban. Memang makanan-makanan di warmindo yang satu itu enak banget, soalnya Bu Anang punya bumbu tambahan yang diracik khusus.

Ngomong-ngomong, mereka berdua ke sininya barengan tadi. Lebih tepatnya, boncengan. Iya, Jean usulin supaya Tian ikut bareng dia aja dan titip mobilnya di Toko Print Djiwa. Nggak ada maksud terselubung, kok. Usulan itu diajuin semata karena jalanan lagi macet banget, bakalan lama kalau pakai mobil. Daripada buang waktu dan tenaga, jadi mending pakai motor Jean aja, 'kan? Lebih efisien gitu.

Tian sempat mikir berapa kali dulu waktu ditawarin tumpangan sama Jean, bahaya kalau terlalu dekat sama cowok itu, mana berduaan doang. Tian masih takut dan masih bangun benteng tinggi-tinggi, tapi akhirnya dia mutusin untuk setuju aja. Lagipula, kalau naik motor 'kan lebih terbuka. Sampai Jean macem-macemin dia, dia tinggal teriak kenceng atau ngibrit kabur.

But anyway, luckily, itu cuma prasangka dan wacana Tian semata. Jean nggak ngapa-ngapainin dia sama sekali, beneran cuma ngeboncengin dia doang. Nggak pakai embel-embel modus ngebut supaya bisa dipeluk dari belakang─nggak, Jean nggak sampai hati buat ngelakuin hal-hal bodoh kayak gitu. Dia udah banyak merenung dan mewawas diri, pengen temenan jalur halal sesuai apa yang Yudha sempat wanti-wanti.

Iya, temenan dulu. Siapa tahu nanti jadi lebih.

Apapun itu, sekarang keduanya lagi duduk hadap-hadapan. Ada beberapa pelanggan lain juga di sekitar mereka, tapi nggak begitu rame karena udah lewat jam makan siang dan belum masuk jam makan malam. Tian lagi sibuk cermatin barisan kata-kata yang tertera di atas selembar kertas yang dilaminating.

Sementara itu, Jean sibuk lihatin adik tingkatnya. Selain karena emang udah tahu mau pesan apa─mengingat bukan pendatang baru, dia juga milih untuk manfaatin kesempatan. Sosok yang luar biasa cakep dan selalu diidam-idamkan dia udah ada persis di depan mata, jadi satu-satunya pemandangan yang pengen direkam otaknya. Sederhana, cuma Tian aja, Jean nggak butuh lihat ke tempat lain.

"Yang enak di sini apa?"

Pertanyaan dari Tian sukses bikin kesadaran Jean balik lagi, udah nggak berlarut di dalam benak sendiri.

"Lu sukanya apa? Kalau suka keju, indomiju enak. Kalau suka kornet, indominet enak. Kalau suka pedes, indomica enak," Jean sigap menjawab, sebelum nyengir, "ya, enak semua sih di sini, tergantung preferensi lu aja."

Tian diem aja, dia masih mikir keras. Udah berasa lagi ujian. Matanya dari tadi bergulir ke kanan-kiri, bolak-balik, masih bingung antara harus beli mi instan sama roti bakar atau mi instan sama pisang bakar. Terus mi instannya kuah atau goreng, ya?

"Bingung gua," refleks, keluhan meluncur dari bibir Tian. Dia beneran bingung soalnya, padahal cuma perkara makanan. Sadar kalau yang di sana lagi galau, akhirnya Jean gerak cepat buat kasih rekomendasi lagi.

"Hm ... ini, deh. Indomiju kuah aja, mau? Sama pisang bakar milo. Dua menu itu paling recommended, sih."

Sempat nimbang-nimbang sebentar, Tian ngangguk juga. Pikirnya, mungkin Jean lebih tahu seluk-beluk warmindo ini, it won't be a sin to trust on him in this case.

Jean senyum begitu dapat persetujuan dari Tian. Buru-buru dia panggil mbak-mbak yang lagi lalu-lalang, pelayan di situ.

"Eh, Mas Je. Mau pesen apa, Mas?"

"Indomiju kuah satu, indomica kuah jumbo topping telur rebus satu, pisang bakar milo satu," Jean ngedikte pelan-pelan, sebelum dia ngasih jeda, sengaja mau ngelirik ke arah Tian, "minumnya?"

Yang ditanya malah kaget. Tiba-tiba banget habisan, orang dia 'kan lagi nyimak gelagat Jean yang lagi ngediktein barusan itu. Nggak mau kelihatan kayak orang kaget, Tian buru-buru nunduk, pelongin kertas menu lagi.

"Mm ... es teh manis jumbo aja, deh."

Menangkap keinginan Tian, anggukan Jean kasih, "Oke. Es teh manis jumbo dua, ya, Mbak."

"Siap, Mas. Ditunggu, yo."

"Makasih, Mbak Tri."

Udah selesai pesan, sekarang atensi Jean balik lagi ke Tian. Belum ada yang buka obrolan, keduanya sama-sama lagi cari topik untuk pecahin kecanggungan ini.

"Lu sering ke sini, ya?"

Kedengeran kayak basa-basi dan retoris, jawabannya 'kan udah pasti. Tapi Jean nggak protes, dia malah seneng Tian jadi pihak pembuka konversasi sekarang. Refleks, senyuman lewat lagi di mukanya.

"Iya, langganan gua."

"Pantesan."

"Pantesan apa?"

"Fasih banget jelasin menunya. Udah kayak sales."

Ketawa, iyalah Jean ketawa. Tian lucu banget gitu, kok. Dia nggak nyangka dia bisa ketawa selepas ini di depan Tian, nggak nyangka juga dia bisa lihat Tian bercanda sama dia. What did just happen? Rasanya kayak baru kemarin mereka perang dingin─well, memang kemarin, dan mereka bisa sesantai itu sekarang. Terlebih, semuanya ngalir gitu aja, di luar ekspektasi dan rencana.

"Kenapa ketawa?"

Di sisi lain, Tian malah bingung kenapa cowok di depannya itu ketawa, padahal dia barusan lagi sarkas, bukan lagi ngelawak. (Ya ... gimana, ya, Ti. Cowok di depan kamu itu naksir berat sama kamu, jadi kamu mau ngapa-ngapain juga tetep lucu di mata dia.)

"Gapapa," akhirnya Jean ngejawab setelah tawanya reda. Pandangannya beralih, curi lirik ke piring besar yang udah ditempatin sama aneka gorengan.

"Itu gorengannya ambil aja. Cuma bayar lima ribu, tapi bebas ambil sepuasnya."

Tian agak melongo, dikirain tentang bebas nambah gorengan itu cuma iming-iming? Ternyata beneran?

Ngerasa perutnya keroncongan, Jean lebih dulu comot satu bakwan, langsung dilahap cepat. Ngelihat itu, Tian jadi tergoda buat comot juga. Mana dia laper banget 'kan, belum makan siang. Akhirnya, dia ikutan cemilin bakwan juga.

"Ih, kok enak?" manik Tian berbinar-binar, kayak balita baru dikasih balon atau permen. Seneng banget pokoknya, kelihatan juga dari senyuman dia yang sepintas lewat barusan.

Jean nggak kelewatan. Dia saat ini adalah orang yang paling beruntung karena bisa tangkep momen itu. Dia bisa lihat Tian senyum, and he couldn't help but to smile as well.

"Ya, enak emang. Gorengan di sini fresh lagi, anget mulu."

Tian ngangguk, nandain kalau dia sepemahaman sama Jean. Dia sendiri aja udah makan tiga gorengan, ini udah mau yang keempat. Fokusnya ke gorengan tiba-tiba kebagi waktu ada yang nyamperin sambil bawa mangkuk-mangkuk berisi mi instan. Wanginya sedep banget, kayaknya perut Tian bakalan teriak puas hari ini.

Jean udah nyerbu aja mi instan punya dia, udah on the way nyuapin dirinya sendiri, sebelum ...

"Doa dulu."

Itu Tian yang ngingetin. Nggak sadar, senyumnya keulas juga waktu lihat Jean kayak anak kecil yang lagi laper dan buru-buru pengen makan bekel yang dibuatin mamanya.

"Oh, iya," Jean nyengir sambil taruh lagi sendok sama garpunya. Kedua telapak tangannya udah kebuka, sedangkan Tian juga udah rapetin jari-jarinya satu sama lain. Mereka doa bentar, dalam agama yang beda.

"Done. Makan, Ti, yang banyak."

Tuturan Jean cuma ditanggapin Tian pakai manggut-manggut aja, soalnya memang dia mau realisasiin itu.

"Anjir, enak!" lagi dan lagi, Tian kaget. Kok bisa ada mi instan seenak ini? Perasaan mereknya sama, deh, sama yang selama ini dia masak di kosan.

"Kok bisa, sih?"

"Iya, Bu Anang, tuh, pakai resep sendiri. Jadi bumbu indomie-nya ditambah sama bumbu khusus gitulah, gua juga nggak paham. Tapi enak, 'kan?"

"Iya, enak banget."

"Iyalah, makanya gua langganan."

Dari sini dan seluruh kejadian hari ini, Tian jadi tahu banyak sisi Jean yang sebelumnya dia nggak tahu. Pertama, Jean itu keren kalau lagi serius. Kedua, Jean itu profesional soal kerjaan. Ketiga, Jean itu bukan pengemudi motor yang suka ngebut dan ugal-ugalan. Keempat, Jean tahu tempat makan enak. Kelima, Jean itu lumayan asik buat diajak ngobrol.

Lima butir kesimpulan itu bikin Tian jadi tergugah, untuk kenal lebih dekat sama Jean, secara nggak langsung mau runtuhin benteng pertahanannya.

"Selain ini, lu suka ke mana?"

Jean cengo. Dia kaget sama pertanyaan seketika itu. Apa, nih? Tian udah mulai ngepoin dia atau gimana?

"Hm ... maksudnya tempat makan?"

"Iya."

"Ada banyak, sih. Gua tau warteg enak juga, terus ada soto enak, bubur enak, even es doger enak juga ada. Kenapa?"

"Ajak gua."

Jean makin cengo. Mata dia melotot, sampai-sampai hampir keselek kalau nggak dia buru-buru telen kunyahannya.

"Ajak gimana maksudnya...?"

Tian ngejeda kegiatannya dulu. Awalnya dia nunduk buat lihatin kuah mi, sekarang dia dongak buat lihatin Jean, tepat ke matanya. Tatapan itu langsung direspon sama Jean lewat jantung, deg-degan banget, cuy.

"Ya, ajak gua, ke tempat-tempat itu. Gua jarang nemu makanan murah kayak gini, selama ini cuma makan di sekitar kampus atau order fast food."

Jean bingung mau pasang ekspresi apa. Kagetkah? Bahagiakah? Yang pasti, dia senyum, lumayan lebar meskipun dia udah mati-matian nahan supaya nggak kentara.

"Kalau lu nggak sibuk aja, sih?" Tian nambahin, tiba-tiba skeptis dan khawatir soalnya kakak tingkatnya itu diem aja pascapermintaan itu keluar dari mulutnya. Dia 'kan jadi overthink.

"Nggak," buru-buru nyanggah, Jean neguk es teh manisnya dulu bentar─haus, cuk. Habis itu dia lanjutin lagi ngomongnya sambil pandangin Tian secara khusyuk.

"Nggak, kok. Gua gabut banget. Mau kapan?"

Spontan, Tian senyum.

"We'll decide it later. I'll tell you."

"Lewat apa?"

Jelaslah Jean nanya, soalnya iMessage sama Twitter dia diblokir sama Tian. Mau hubungin lewat mana, coba? Masa iya ketemu langsung? Mereka 'kan jarang papasan kalau di kampus karena mata kuliah yang diambil beda total. Atau jangan-jangan, lewat WhatsApp, ya?

"Lewat e-mail kampus."

Jean tersenyum kecut. Buka WhatsApp aja jarang, apa lagi ini, tapi ...

"Oke. Gua tunggu e-mail-nya."

Edit
Pub: 10 Feb 2022 04:43 UTC
Edit: 10 Feb 2022 12:28 UTC
Views: 3345