KATING ANEH: SEPULUH.
️️ ️️
️️ ️️
Jalan Hasanudin macet parah, padahal belum jam pulang kantor. Masih jam setengah empat, harusnya masih agak lenggang, tapi Tian udah habisin waktu hampir 45 menit di dalam mobilnya. Nggak tahu ada apaan di depan sana, yang pasti Tian capek. Mana dia belum sempat makan siang gara-gara jadwal dia padet dari pagi ke siang, tiga matkul berturut-turut tanpa jeda.

Tapi, mau gimana lagi? Jalanin ajalah yang kayak begini. Toh, bentar lagi juga dia sampai ke tujuan, Toko Print Djiwa.

Sepuluh menit kemudian, dia beneran udah sampai. Parkiran Toko Print Djiwa nggak sempit, jadi mobil dia bisa terparkir dengan aman. Bergegas keluar mobil, dia akhirnya masuk ke dalam bangunannya yang lumayan luas. Bunyi kertas dan mesin cetak udah beradu, khas banget dari sebuah toko cetak dan fotokopi.

"Sore, Kak. Mau pesen atau ambil pesenan?" ada yang nanya Tian, itu pegawai tokonya.

"Mau ambil pesenan, Mbak."

"Atas nama siapa?"

Tian bingung, dia minim informasi, soalnya anak Logistik yang masukin pesanannya. Selama ini juga dia belum ada ngobrol sama anak Logistik yang jadi PJ untuk Humas, soalnya memang belum ada urusan. Pesanan itu udah ada dari sebelum Tian diutus sebagai PJ untuk Logistik─Malik atau Jesslyn yang hubungin anak Logistik karena waktu itu, koordinasi antardivisi masih tanggung jawab mereka.

"Hm ... bentar ya, Mbak. Saya lupa atas nama siapa, mau tanya dulu."

"Oh iya, Kak, boleh."

Tian akhirnya melipir dulu. Dia ngirim chat di grup Humas, nanyain tentang pesanan itu. Belum ada yang balas, tiba-tiba ada orang lain yang masuk ke dalam toko, spontan bikin Tian noleh karena dia lagi berdiri di dekat pintu.

Itu Jean.

Mereka saling pandang. Tian kaget, Jean lebih kaget. Diem-dieman, nggak ada yang gerak atau nyapa.

Sampai akhirnya, Jean yang duluan ambil langkah. Dia ke depan loket administrasi, nyamperin mbak-mbak yang beberapa waktu lalu nanya ke Tian.

"Sore, Kak. Mau pesen atau ambil pesenan?"

"Ambil pesenan."

"Atas nama siapa?"

"Logistik FEB Cup, Mbak."

"Baik, sebentar ya, Kak. Ditunggu dulu."

Jean ngangguk aja sambil senyum cuma-cuma. Dia udah muter badan, duduk di salah satu bangku tunggu yang disedain. Tian masih diem aja, udah kayak patung lama-lama. Dia kena mental, capek-capek berdoa supaya nggak ketemu sama Jean, eh malah ternyata Tuhan kasih dia jalan yang berkebalikan.

Cuma bisa menghela napas dan pasrah, akhirnya Tian nyamperin Jean yang sibuk main ponsel. Dia duduk tepat di sebelah kakak tingkatnya itu. Ya, masih berjarak, sih, soalnya 'kan ada jarak antarbangku. Cuma lumayan dekat, dan lumayan bikin Jean semriwing karena dia tahu gebetannya yang udah lama nggak dia lihat itu ada sedekat itu sama dia.

Iya, udah hampir dua minggu sejak kejadian epic di mobil Tian, Jean nggak pernah lihat Tian. Sengaja menghindar, dia beneran udah kayak orang gila karena mikirin cowok manis itu. Jadi, dia pikir mendingan dia nggak ketemu dulu, at least sampai dia ngerasa mampu. Hitung-hitung, sekalian permulaan buat move on─yang sayangnya, semua rencana itu udah luluh lantak sekarang.

"Permisi, Kak. Atas nama Logistik FEB Cup, ya ... ini pesenannya."

Jean gesit berdiri, dia ambil spanduk yang semula dipegang sama mbak-mbak tadi. Masih digulung rapi.

"Makasih ya, Mbak. Saya cek dulu."

Jean minggir, dia duduk lagi di tempat yang sebelumnya dia dudukin. Tubuhnya agak condong ke kiri, sengaja biar Tian bisa ikut ngecek spanduk yang sekarang dia lagi bentangin.

"Gimana?" buka pembicaraan, Jean ajuin pertanyaan itu, sambil ngelirik ke arah Tian yang lagi natap spanduk lekat-lekat.

"Bentar," Tian lagi serius, dia nelaah setiap inci spanduk yang ada supaya sesuai sama permintaan dan keinginan.

"Ini ada salah dikit, kelebihan spasi jadinya terlalu kiri. Sama warna spanduknya agak pudar, deh? Perasaan kalau di foto lebih terang dikit."

"Kalau soal warna mah emang gitu, 'kan layar hp atau komputer ada pengaturan warnanya, jadi pasti beda sedikit kalau udah dicetak."

Wow, it's surprising? Tian nggak nyangka kalau Jean bisa seserius itu. Maksudnya, dia tiba-tiba jadi kelihatan ... hm, um, hm ... dia kelihatan ganteng. Kayak aura orang pinter dan bertanggung jawab gitu. Hal itu jelas ada di luar ekspektasi Tian, dia nggak tahu kalau kakak tingkatnya yang satu itu bisa punya sisi ini juga.

"Oh, gitu ...," Tian manggut-manggut, setuju aja sama tuturan Jean soalnya dia nggak begitu paham soal beginian, "ya udah, paling spasinya aja, sih? Jadi nggak tengah kalau gini."

Jean mengangguk paham, dia gerak cepat dan cekatan, nyamperin mbak-mbak tadi lagi untuk minta revisian.

"Mbak, ini tolong direvisi ya, soalnya kurang tengah. Draf pesenannya masih ada 'kan, ya, Mbak?"

"Oh iya, masih, Mas. Kita nyimpen semua draf pesenan sampai bener-bener final, kok."

"Oke, Mbak, tolong direvisi ya. Free, 'kan?"

"Iya, Mas, kita free revisi minor sekali."

"Berapa jam selesainya, Mbak?"

"Dua jam, sih, paling. Soalnya printer buat spanduknya lagi dipakai buat pesenan lain dulu, Mas."

"Oh iya, nggak apa-apa, Mbak. Makasih, ya."

"Sama-sama."

Tian dengerin semua percakapan itu dengan telaten, telinganya terbuka buat nampung suara Jean yang kedengeran profesional itu. Dari situ, dia bisa tahu kalau Jean orangnya nggak sembarangan waktu lagi kerja, dia bahkan nanyain hal-hal rinci kayak draf pesanan dan biaya tambahan revisi. He knows exactly what he does, dan itu bikin Jean kelihatan keren saat ini di mata Tian.

"Ti, dua jam."

Jean laporan pas udah balik nyamperin Tian yang masih duduk. Dibalas anggukan, artinya informasi itu diterima.

"Iya, tadi denger."

"Oke."

Balik diem-dieman lagi, mereka berdua mulai canggung lagi, kayak lagi tenggelam dalam pikiran masing-masing. Cuma nggak berlangsung lama, Jean jadi pihak yang proaktif hari ini, dia mau bertingkah kasual aja sama Tian mulai sekarang.

"Laper nggak?"

Yang ditanya cepat-cepat noleh, sambil nunjukin raut heran. Kok tiba-tiba nanya gitu?

"Hah? Kenapa emang?"

Jean nyengir pelan, bikin lesung pipinya sedikit timbul─hal yang baru Tian lihat pertama kali juga secara langsung. Gelagat Jean dibuat sesantai mungkin yang dia bisa, meskipun masih kagok.

"Lu laper nggak?" diulang pertanyaannya, sebelum nambahin, "ada warmindo paling enak, tapi underrated, mau ke situ dulu nggak?"

Tawaran menarik. Tian lagi laper setengah mampus dan makan mi instan nggak pernah salah. Tapi dia ragu, masa iya harus iyain ajakan Jean? Dia udah tetapin batasan untuk dirinya sendiri, loh! Kalau nerima ajakan Jean sama aja ngelangkahin batasannya, 'kan?

"Kalau nggak mau, ya, nggak apa-apa. Cuma di situ indomie-nya enak banget, suka dikasih free nambah gorengannya juga jadi bakal kenyang."

Mikir, mikir, mikir.

Mikir, mikir, mikir.

Mikir, mikir, akhirnya ...

"Boleh, deh."

Jean diem-diem senyum, Tian diem-diem rutukin diri. Saatnya Tian say goodbye ke batasan yang dia udah buat dan saatnya Jean say thank you ke kemampuannya dalam tawar-menawar.

Edit
Pub: 09 Feb 2022 10:38 UTC
Edit: 09 Feb 2022 19:28 UTC
Views: 3476