KATING ANEH: DUA PULUH EMPAT.
️️ ️️
️️ ️️
Malik itu selalu tepat janji. Kayak sekarang, janji dadakan yang dia buat beberapa waktu lalu sama Tian ditepatin juga. Dia udah tampakkin presensinya di rumah sakit tempat David─papanya Tian─dirawat inap.

Karena nggak mau Malik nyasar, Tian berinisiatif untuk jemput Malik di lobi rumah sakit. Begitu ketemu, mereka berdua langsung senyam-senyum. Sebelah tangan Malik gamit kantong kresek warna putih, isinya seporsi karedok dan seporsi nasi uduk, sesuai pesanan Tian. Sementara itu, tangan yang satunya lagi disempatin untuk singgah di puncak kepala Tian, dielus-elus helai rambut halus milik pacarnya itu.

Tian nggak keberatan sama sekali. Dia suka diperlakuin penuh afeksi kayak gitu, that just indicates how gentle Malik is.

"Tadi macet nggak, Kak?" sebuah pertanyaan kasual dilempar untuk buka pembicaraan, dari Tian kepada Malik. Sengaja, biar nggak diem-diem doang selama perjalanan ke kamar rawat inap.

"Nggak, kok. Aman banget tadi, tumbenan."

"Oh, iya? Kok tumben nggak macet."

Malik ngangkat bahu ringan, "Nggak tau juga, tapi enak kalau nggak macet gitu. Jadi bisa cepet-cepet ketemu kamu."

"Apaan, sih, Kak," Tian ketawa pelan, dia salting, "dangdut banget."

"Yeee, orang beneran! Hahaha."

Keduanya saling haha-hihi, sebelum Malik omongin hal lain supaya berkembang konversasinya.

"Btw, kamu nanti aku anter-jemput aja, ya? Jadi mobil kamu istirahat aja di kosan, dipake kalau lagi urgent banget aja. Selebihnya, aku yang anter."

Atas ide Malik yang tiba-tiba itu, Tian agak melongo. Dia beberapa kali ngerjapin mata sebagai bentuk spontanitas karena dia bingung. Ini namanya posesif atau perhatian, ya?

Well, Tian nggak mau banyak mikir. Dia ngangguk sepakat aja atas usul Malik. Lumayan juga, hitung-hitung dia bisa hemat bensin sekaligus pacaran. Double jackpot, sih, jatuhnya.

Karena udah lihat indikasi setuju dari Tian meskipun nggak disampaiin secara verbal, Malik langsung ngumbar senyum lima jarinya, sebelum balik taruh atensi ke lorong rumah sakit. Dia ngikutin jejak kaki Tian, sebelum akhirnya cowok itu berhenti tepat di depan pintu kamar yang terbuat dari kayu.

"Papa, ini ada yang mau jenguk," Tian ngasih informasi itu sambil merangsek ke dalam kamar, disusul oleh Malik tanpa berlama-lama.

Kamarnya lumayan besar, lumayan nyaman juga. David lagi rebahan di atas kasur yang bersanding sama beberapa instalasi medis. Kepalanya menoleh begitu denger ada suara anaknya, langsung nangkep sosok tunggal yang belum familier sama indra penglihatannya.

"Eh iya, siapa ini?" ramah-tamah, David pasang aksen santai andalannya. Memang dia bukan tipikal orang yang kaku walaupun sama orang yang bener-bener nggak dikenal.

"Malik, Om," tangan kanan Malik terulur untuk ngasih salam ke sosok yang lebih tua daripadanya itu, langsung disambut dengan uluran tangan juga.

"Malik siapa?"

"Temennya Tian, Om."

"Nggak, Pa. Dia pacar Tian."

Malik ngejawab temen karena dia takut kalau David itu nggak ngebolehin anaknya pacaran sama yang berkelamin sejenis. Turns out, Tian langsung ngeralat dan negasin kalau dia itu pacar, bukan temen. Hal sederhana itu jelas bikin Malik berbunga-bunga banget, berasa dapat validasi.

"Jadi yang bener yang mana, nih?" sedikit-banyak David bingung, tapi dia tetep balut pertanyaan itu dengan nada kasual.

"Tian yang bener, Om. Saya pacarnya."

"Waduh, ribet nggak punya pacar kayak anak saya, Lik?"

"Ih, Papa!"

Malik refleks menguar tawa. Jenaka yang dilempar kepadanya itu cukup menggelitik, apa lagi respon Tian yang kayak lagi merengek itu kelihatan gemes banget.

"Nggak, Om. Saya seneng punya pacar kayak Tian."

Suasana hangat mulai ngalir begitu Malik ngomong kayak gitu. Konversasi mulai dirajut, mulai dari David yang nanya-nanya soal Malik dan kehidupannya, sampai ngobrolin tentang politik dan perekonomian negara. Banyak banget pokoknya yang dibahas karena memang dasarnya David itu orang yang suka ngobrol. Mereka santai-santai gitu sambil lahap sarapan yang udah dibawain Malik juga.

Udah dua jam berlalu tanpa kerasa sama sekali. Satu setengah jam lagi, Tian dan Malik ada kelas. Jadilah mereka siap-siap untuk bergegas sekarang aja, takutnya macet karena udah siang.

"Kak, ambil mobil duluan aja, nanti langsung ke depan lobi. Aku mau siap-siap dulu."

Ucapan Tian lekas ditanggap anggukan, Malik nggak perlu banyak bantah atau gimana, dia nurut aja sama pacarnya dan cabut dari kamar rawat inap─tentunya, setelah salam dan pamitan dulu sama David.

"Ti, Malik orangnya baik, ya," David tiba-tiba buka suara, ngedistrak Tian dari kegiatan masukin barang-barang ke tas.

"Iya, Pa."

"Tapi dia nggak seasik temenmu yang kemaren. Sopo iku ... Jean, ya?"

Tian ngejeda kegiatannya sebentar, ngelirik ke arah papanya itu, sebelum ketawa pelan. Bingung mau bales gimana, jadi ketawain ajalah udah.

"Kenapa nggak pacaran sama Jean aja, toh?"

Makin bingung, tapi Tian tetep fokus ngerapiin barang-barangnya, sebelum dia selempangin tas itu di sekitar tubuhnya. Dia tarik langkah, jalan deketin papanya untuk singgahin kecupan singkat di pipi.

"Jean itu cuma temen Tian, Pa, jangan ngaco-ngaco gitu deh ah," cepat-cepat Tian menyanggah, sebelum balik badan, "Tian berangkat dulu, Papa jangan lupa makan siang sama minum obatnya."

"Yo, kamu kuliah yang bener."

Tian udah menghilang dari penglihatan David. Sambil nyusurin lorong rumah sakit, dia mikir apa yang barusan papanya ucapin. Meskipun kedengerannya cuma candaan, tetep aja benaknya nggak berhasil usir hal sepele itu. Kesannya, papanya lebih ngasih restu untuk Jean ketimbang untuk Malik, dan itu bikin dia refleks geleng-geleng kepala. Nggak perlu dijadiin bahan overthink, lah, ya? Toh, papanya tetep bilang kalau Malik itu orang baik.

Edit
Pub: 14 Feb 2022 19:21 UTC
Edit: 15 Feb 2022 06:08 UTC
Views: 3135