KATING ANEH: DUA PULUH TUJUH.
️️ ️️
️️ ️️
Berada di rumah Dera, Tian sekarang sama sekali nggak gabut. Dia lagi usap-usap punggung Tera yang tidur dengan posisi duduk di atas pangkuannya dan nemplok ke badannya. Meskipun agak di luar dugaan, Tian suka banget sama anak kecil, apa lagi yang selucu Tera. Dia nggak jarang ke rumah Dera cuma buat main sama adik semata wayangnya.

However, kedatangan Tian kali ini nggak cuma buat nyamperin Tera, tapi dia juga mau curhat ke sohibnya. Sambil pukpukin Tera, sebelah tangannya yang gabut bergerak untuk nyuapin biskuit ke mulutnya sendiri, dikunyah pelan-pelan supaya nggak bikin tidur nyenyak Tera keusik.

"Lu katanya mau curhat?" Dera akhirnya nanya setelah beberapa jemang mereka diem-dieman aja. Nggak sambil lihatin Tian, dia lebih milih untuk natap ke arah layar televisi yang lagi nyala, tampilin beberapa adegan laga.

"Iya, tapi gua bingung mau mulai dari mana."

"Dari awal."

Tian tarik napas dulu sekali, sambil mantapin hati untuk mulai ngerangkai kalimat.

"Kemaren gua ketemu Jean 'kan, terus dia confess kalau dia suka sama gua."

"HAH?!"

Dera kaget, Tian juga kesentak. Dia buru-buru tabok pelan Dera supaya sohibnya nggak berisik, "Jangan teriak, bego. Nanti Tera bangun!"

"Maap, maap," Dera refleks templokin telapak tangannya ke bibir, "kaget banget, anjing. Kok bisa?"

"Kok bisa indeed," sehela napas campak bentar, sebelum lanjutin cerita, "gua awalnya cuma nanya, kenapa dia kayak murung gitu ... soalnya dia emang kelihatan beda, Der, I was worried."

"Terus dia malah bilang ke gua, jangan terlalu kepo sama dia. Gua kesinggung, masa gua nggak boleh khawatir sama temen sendiri? Terus dia malah bilang kalau dia suka sama gua, dia mau move on, makanya gua nggak boleh bersikap kayak gitu ke dia."

"Wow, amazing ..."

"Terus gua argued him back. Gua bilang, gua mana tau kalau dia suka sama gua, kenapa kesannya jadi gua yang salah? Not my responsibility, lah, kalau dia sakit hati. Kenapa juga dia nggak confess dari awal gitu, 'kan."

Dera manggut-manggut, sambil cemilin biskuit, "Terus, apa katanya?"

"Dia bilang ...," Tian diem dulu, kalimat terakhir yang Jean ucapin ke dia cukup nyelekit, membekas di pikiran dan hati, "dia bilang, kalau misalnya dia confess, emang apa ngaruhnya? Toh, gua sukanya sama Malik, bukan dia."

"Damn, Jean ... kesian amat, sih."

Tian manyun begitu denger reaksi dari Dera. Duh, dia rasanya mau nangis aja. Cekcok soal perasaan kayak begitu adalah hal yang nggak familier sama dia. Semakin dia pikirin, semakin dia terngiang-ngiang. Bahkan, benaknya masih bisa ingat jelas gimana raut wajah dan nada suara Jean waktu cowok itu ungkapin segala unek-unek yang selama ini bersarang di dalam lubuknya.

"Lanjut dulu, Ti."

Tutut berselimut titah dari Dera bikin Tian balik ke kesadarannya. Dia ngangguk pelan, sebelum curhat ke topik yang lain.

"Terus, ya udah ... gua kemaren suntuk, gua chat Kak Malik. Dia ghosting, lama banget pokoknya, malem baru dibales. Bentar doang ngobrolnya, habis itu dia tidur, tadi pagi nge-chat sekali, belum dibales sampai sekarang. Katanya, sih, hari ini mau anterin mamanya ke mana gitu."

"Gua nggak mau suudzon, tapi Kak Malik jadi demen ghosting tiba-tiba. Intensitas ngobrol kita jadi dikit banget, Der. Mana dia sekarang udah nggak bisa anter-jemput gua lagi kayak biasanya, selalu ada alesannya. Wajar nggak, sih, kalau gua kecewa?"

"Wajar, wajar banget," spontan Dera kasih jawaban, "ini udah belum curhatan lu? Sebelum gua mulai khotbah."

Tian terkekeh begitu denger kalimat terakhir dari sang lawan bicara. Sohibnya yang satu itu memang pinter banget buat cairin suasana, bahkan di sela-sela kegiatan curhat ini. Untuk ngejawab pertanyaan itu, Tian cukup kasih anggukan.

Dera udah dapat sinyal kalau curhatan Tian udah selesai. Dia lekas nyeruput es teh manisnya buat usir rasa haus di kerongkongan, bentuk ancang-ancang kalau dia mau mulai ceramah.

"Soal Jean, gua coba pahami kedua sisi, ya. Gua paham kenapa dia ngomong gitu, it hurts, cuk. It hurts untuk lihat orang yang kita sukain jadian sama orang lain. Kita nggak tau dia sekebal apa sama perkara patah hati, tapi gua yakin he's been going through a lot of things."

"Dia mungkin udah susah payah nggak galau berlarut-larut, dia mungkin udah keluarin banyak effort untuk move on. Makanya dia kesel pas lu dateng ke dia dan bawa segala rasa perhatian lu atas dasar kewajiban sebagai temen baik. He would take it as total bullshit. Mungkin kalau lu ada di posisi dia, lu juga bakal ngelakuin hal yang sama."

Sedikit cengo, Tian agaknya dapat ilham baru dari ceramah Dera. Sohibnya itu buka sisi baru di dalam otaknya yang dorong dia untuk bisa paham gimana perasaan Jean yang sesungguhnya.

"Nah, kalau dari sisi lu, gua juga paham kenapa lu kesel karena seolah-olah lu yang salah, padahal lu nggak tau kalau Jean suka sama lu. Well, indeed, ini bukan salah lu. Perasaan Jean juga bukan tanggung jawab lu. Dia harusnya nggak nyalahin lu kayak gitu, tapi lu harus ngerti juga kalau lu nggak bisa baikin dia terus. Jadi saran gua, lu jaga jarak dulu sama dia. Give him time and space, supaya dia bisa move on dan bisa hadepin lu lagi kayak dulu."

Tenggelam ke dalam kalimat-kalimat bijak dan solutif Dera, Tian sama sekali bergeming. Dia lamat-lamat mencerna apa yang didengernya, sebelum dia ngangguk paham sambil gigit biskuit lagi.

"Good. Sekarang soal Malik," berdeham bentar, Dera coba keluarin vibes positif biar bisa pengaruhin Tian yang lagi negatif banget.

"Gua rasa lu jangan terlalu suudzon dan overthink sampai emang beneran ada gelagat mencurigakan dari dia. Bisa aja 'kan, dia beneran sibuk? Mungkin dia lagi ngelakuin sesuatu yang urgent dan nggak bisa pegang hp selama ngelakuin itu. Yang penting, dia masih sempet chat lu. Jadi, lu jangan terlalu mikir yang gimana-gimana, nanti lu malah stres sendiri."

"Tapi 'kan gua kangen banget sama Kak Malik, Der ...," Tian ngerengek, sambil cemberut. Dera, sebagai satu-satunya saksi mata atas ekspresi yang dibuat sok imut itu, jadi tergugah selera untuk nampol pemiliknya.

"Lu stop ngerengek, jing. Geli."

Langsung cengengesan, Tian suka banget kalau Dera udah ngamuk-ngamuk gitu. Biasalah, Tian 'kan memang usil anaknya.

"Ya, kangen mah wajar. Cuma ya udah, lu sabar-sabar dulu kek. Kalau kangen, ngomong aja ke dia, tapi lu jangan kebawa pikiran jelek gitu."

"Iya, iya, iya, pahaaam."

"Beneran paham nggak lu?"

Terhadap pertanyaan skeptis Dera, sebuah cubitan singgah di lengan cowok itu. Jelas, Tian pelaku tunggalnya.

"Aw! Anjing, sakit."

"Lagian lu ngeremehin gua."

"Kagak! Gua beneran nanya, kali aja lu paham-paham, tapi taunya belum nyerap."

"Udah gua serap, Deeeeer. Thanks, ya."

Yah, ada betulnya juga apa kata Dera. Memang seharusnya, Tian jangan terlalu jadiin apa-apa yang terjadi sebagai beban. Let everything flow will be nicer, won't it?

Edit
Pub: 16 Feb 2022 08:59 UTC
Edit: 16 Feb 2022 10:12 UTC
Views: 2168