KATING ANEH: DUA PULUH LIMA.
️️ ️️
️️ ️️
Rapat pleno kedua baru selesai dilaksanain. Beberapa anggota divisi udah bubar jalan, tapi ada beberapa yang masih nangkring-nangkring di sana. Tian ngelihat Malik dari kejauhan, cowok itu lagi ngobrol sama anggota inti, nggak paham juga lagi bahas apa. However, dia nyamperin Malik karena dia mau pulang ke kosan.

"Kak," panggilan Tian kepada Malik sukses bikin semua orang di situ arahin pandangan ke dia.

"Weitseh, Bapak Malik disamperin bebebnya, nih."

"Hahahaha, cie cieeee. Pacaran terooos!"

Riuh banget, Tian cuma cengengesan aja waktu dicengin kayak gitu. Malik noleh ke arah pacarnya, terus ngode buat ajak dia melipir bentar supaya suasananya kondusif.

"Ti, aku nggak bisa anter kamu pulang dulu, ya," informasi itu diucap Malik dengan sekelebat mimik sedih, kayak lagi ngerasa bersalah gitu, "aku mau lanjut ngobrol dulu sama anak-anak inti. Is that okay?"

Ini pertama kali Malik absen anter-jemput Tian. Tian sendiri sebenernya nggak masalah, apa lagi alasannya bisa diterima. Cuma tetep aja rasanya agak kecewa, mungkin karena dia udah terlampau enak diperlakuin kayak gitu.

"Gapapa, Kak," Tian tetep balas kayak gitu, nggak mungkin dia menangin egonya dan suarain isi hatinya, "aku naik Gojek aja."

"Okay. Kabarin aku kalau udah nyampe," sebelah tangan Malik nyamperin puncak kepala Tian buat usak pelan rambut cowok itu, lekas-lekas dibalas anggukan.

Begitu Malik cabut dari situ dan kembali berbaur sama kerumunan anggota inti, Tian juga nggak mau lama-lama habisin waktu di sana. Dia bergegas bawa dirinya sendiri ke depan kampus, sambil ngutak-ngatik ponselnya buat pesan ojek online.

Kelar pesan, dia tinggal nunggu aja. Kepalanya mendongak, bertepatan dengan itu, dia lihat sosok Jean yang tunjukkin presensi di sampingnya, tapi sambil naikin motornya.

"Je!"

Jean noleh pas denger ada suara nggak asing manggil dia. Oh, shit, here we go again. Udah mati-matian healing selama kurang lebih dua minggu dengan berusaha nggak ketemu sama cowok itu, bahkan kelar rapat pleno tadi juga dia langsung cabut tanpa ba-bi-bu, eh, malah ketemu di depan kampus.

Menghela napas, Jean terpaksa harus pasang topeng lagi di hadapan Tian. Dia nggak mungkin nggak ngewaro adik tingkatnya itu.

"Hai, Ti."

Tian ngumbar senyum lima jari. Dia udah lama banget nggak lihat Jean, makanya dia seneng aja bisa ketemu sama kakak tingkat sekaligus temennya itu.

"Mau ke mana? Pulang?"

"Iya."

"Oooh," Tian manggut-manggut, tapi dia nggak mau putusin konversasi gitu aja, "besok ke Djiwa, 'kan?"

"Iya."

"Habis dari Djiwa, makan bareng lagi, yuk?"

Sebetulnya, Tian agak nekat. Dia tahu kalau dia masih dianter-jemput sama pacarnya, tapi dia malah ngajak Jean kayak gitu. Sementara itu, Jean udah stres banget begitu dapat ajakan tiba-tiba dari Tian. Dia lagi dalam proses bangun benteng, kali ini, dia nggak berencana untuk gagal lagi.

"Hm ... lihat nanti, deh, Ti? Gua besok ada schedule lain soalnya."

"Yaaah ...," cemberut, Tian udah kayak anak kecil yang nggak diturutin keinginannya, tapi dia buru-buru pasang senyum lagi, "ya udah, gapapa."

"Oke. Gua duluan, ya, kalau gitu."

"Tiati, Je!"

Jean nggak tanggapin apa-apa lagi, dia udah turunin kaca penutup helm dia dan langsung tancap gas, pergi dari situ. Somehow, Tian ngerasa ada yang janggal. Jean kayak lebih murung daripada biasanya, kelihatan ada sesuatu yang lagi hantam dia. Ada sepercik keinginan Tian untuk tanya-tanya lebih jauh tentang itu, bukan karena kepo semata, tapi dia khawatir juga.

Edit
Pub: 15 Feb 2022 07:05 UTC
Edit: 15 Feb 2022 08:06 UTC
Views: 3303